By. BUDI SANTOSA
17 Juli 2014, 03.27 am
17 Juli 2014, 03.27 am
Sumber:
Menkeu, Chatib Basri mengenakan ulos didampingi Dirjen Pajak, A. Fuad
Rahmany (kanan) dan Kakanwil Ditjen Pajak Sumut I. (sumber :
hariansib.co)
Ada-
ada saja alasan yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan ketika
ditanyakan apakah perlu Ditjen Pajak dipisahkan dari Kementerian
Keuangan. Chatib Basri meneruskan “warisan” Menteri Keuangan
sebelum-sebelumnya yang berat hati melepas Ditjen Pajak dari Kementerian
Keuangan, terlepas dari siapapun pembisiknya. Sebagai seorang akademisi
dan penganut pemikiran ekonomi yang progresif, sungguh aneh jika Chatib
Basri berfikir seperti tersebut, apakah ada yang menekan beliau atau
memang buah pemikiran beliau, menarik untuk dikupas sehingga dapat
mencarikan solusi yang tepat.
Banyak
alasan alasan yang beliau kemukakan mulai dari Masalah koordinasi (yang
sudah saya bantahkan dalam tulisan saya di kompasiana berjudul Alasan Kenapa Ditjen Pajak Harus Terpisah dari Kemenkeu)
hingga yang terbaru yaitu bahwa IRS secara struktur tidak sama sehingga
lembaga pajak RI tidak bisa seperti di amerika serikat. Ada beberapa
poin yang kami ambil dari wawancara beliau yaitu
Pertama,
Menurut beliau seperti yang kami kutip dari Detik, Menteri Keuangan
Chatib Basri menilai IRS di AS sama sekali tidak memiliki kewajiban
untuk mencapai target penerimaan. Berbeda dengan Ditjen Pajak yang
memiliki kewajiban untuk memberi setoran dalam jumlah tertentu kepada
anggaran negara.
“Kalau IRS, mereka nggak ada tugas seperti Ditjen Pajak. Mereka selama ini berjalan hanya mengkoleksi “kata Menteri keuangan.
“Kalau IRS, mereka nggak ada tugas seperti Ditjen Pajak. Mereka selama ini berjalan hanya mengkoleksi “kata Menteri keuangan.
Kedua,
Menurutnya, keikutsertaan Ditjen Pajak dalam anggaran negara karena
terkait dengan pengelolaan defisit anggaran agar berada di bawah 3%
terhadap produk domestik bruto (PDB) sesuai dengan UU Keuangan Negara.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak memegang peranan penting dalam pengelolaan
anggaran negara."Sekarang kalau dipisahkan dan bersifat kolektif, maka
sulit untuk meningkatkan penerimaan agar defisit tak lewat 3%,"
sebutnya.
Ketiga,
Selain itu, Ditjen Pajak juga bertanggung jawab dalam berbagai insentif
fiskal. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah kerap kali
memberikan insentif pajak kepada dunia usaha atau masyarakat secara
umum."Nanti nggak ada lagi tax holiday atau tax allowance. Jadi ada kerangka makro yang di dalamnya pajak memiliki peran," ujarnya.
Mari
kita kaji satu per satu. Untuk hal pertama yaitu Ditjen Pajak memiliki
Target Penerimaan. Pajak mendominasi hampir 78% total penerimaan Negara
sehingga menjadikan pajak sebagai sector paling strategis untuk
membiayai pembangunan. Setiap tahunnya pemerintah menetapkan target
untuk membiayai belanja belanjanya. Kenapa ditetapkan target? Menteri
keuangan lupa bahwa system anggaran yang dianut oleh Indonesia adalah
menentukan belanja terlebih dahulu baru kemudian sector penerimaan
dipaksa untuk mencari uang guna menutupi belanja tersebut yang apabila
kurang ditutup dengan HUTANG . Artinya sistem budget inilah yang harus
diperbaiki dimana secara logis belanjalah yang harus mengikuti jumlah
uang yang ada dan tugas berat untuk melakukan perbaikan tersebut ada di
Dirjen Anggaran di bawah Menteri Keuangan.
Di
samping itu, memberikan target penerimaan kepada Menteri Keuangan lebih
salah dibanding langsung ke Dirjen Pajak. Saat ini Menteri Keuangan
adalah atasan Dirjen Pajak sehingga target penerimaan pajak pun
seharusnya menjadi tanggung jawab Menteri Keuangan padahal Menteri
Keuangan adalah Bendahara Negara. Di mana pun, yang namanya bendahara
bertugas mengelola uang masuk bukan merangkap juga sebagai pencari uang
masuk. Berdasarkan fungsi manajemen saja sudah salah dimana fungsi
penerimaan digabungkan dengan fungsi pengeluaran. Hal ini akan
mengakibatkan salah satu fungsi akan ditekan ketika harus memilih
memberikan insentif pajak atau menaikan penerimaan pajak. Kedua fungsi
ini seharusnya terintegrasi di puncak pimpinan republik ini yaitu
presiden. Jelas di sini fungsi penerimaan WAJIB dipisahkan dari fungsi
pengeluaran dan hal ini sudah lama disadari oleh Negara Negara lainnya.
Terakhir
di sesi ini adalah pernyataan bahwa IRS hanya bertugas melakukan
collection. Ditjen Pajak juga hanya melakukan collection, untuk membuat
kebijakan, Ditjen Pajak dipaksa berduet dengan Badan Keringanan Fiskal (
BKF ) namun target penerimaan pajak hanya melekat pada Ditjen Pajak.
Sesi
Kedua, kembali masalah koordinasi. Defisit penerimaan mengakibatkan
Ditjen Pajak harus tetap berada dalam Kementerian Keuangan adalah salah
besar karena ditjen pajak bukan satu satunya unit yang menghasilkan
penerimaan walau hampir 78% penerimaan berasal dari pajak. Secara
struktur, Unit unit yang menghasilkan penerimaan banyak yang berada di
luar Kementerian Keuangan mulai dari yang bergerak di MIGAS dan MINERBA
sampai dengan unit yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Hal
tersebut bukan menjadi alasan harus berada di dalam Kementerian
Keuangan.
Besarnya
dominasi pajak terhadap penerimaan Negara secara total justru makin
menjadikan alasan pajak harus dipisahkan dari Kementerian Keuangan
semakin Kuat dan wajib menjadi fokus presiden langsung. Fungsi
penerimaan harus dalam pengawasan presiden langsung karena mulai dari
fungsi inilah amanah pembukaan UU 1945 untuk mensejahterakan warga
Negara Indonesia bermula.
Ketiga,
insentif fiskal adalah kewenangan ditjen pajak. Lucunya inisiatif untuk
melakukan insentif fiskal pasti bukan dari ditjen pajak. Logisnya
begini, jika Ditjen Pajak melakukan insentif fiskal maka penerimaan
Negara dari pajak akan digembosi. Insentif fiskal ditujukan untuk
mendorong investasi. Ada sedikit bahan diskusi untuk pembaca sekalian.
Sinar
Mas melalui PT Energi Sejahtera Mas yang bergerak di bidang industri
oleokimia terbarukan mendapatkan insentif pajak dari pemerintah melalui
keputusan Menteri Keuangan No. 271/KMK.011/2014 pada tanggal 27 Juni
2014.Pabrik di bawah naungan pilar bisnis Agribusiness & Foods ini
berlokasi di Dusun Nerbit Kecil, Kelurahan Lubuk Gaung, Kota Dumai,
Riau. Nilai investasi dari pabrik ini sebesar Rp 2,8 trilyun. Pabrik ini
akan memproduksi bahan kimi terbarukan berbahan dasar minyak inti
kelapa sawit (palm kernel oil). rincian tax holiday tersebut berupa pembebasan pajak penghasilan 100 persen selama tujuh tahun dan pengurangan sebesar 50 persen selama dua tahun berikutnya.
Ia mengatakan, insentif dari pemerintah itu resmi diterima pada 3 Juli,
yang tertuang dalam Keputuan Menteri Keuangan Nomor 271/KMK.001/2014
tertanggal 27 Juni 2014.
Insentif ini
diberikan kepada investasi dengan syarat syarat tertentu guna menjamin
perusahaan tersebut dalam tumbuh dan maju. Namun di sisi lain,
penerimaan pajak dari perusahaan ini akan defisit sebesar 100% dalam
waktu tujuh tahun dan 50% dalam waktu dua tahun berikutnya. Apakah
perusahaan lain seperti yang tidak memiliki modal 1 T mendapat
perlakukan yang sama, lalu apakah ada yang menjamin jika perusahaan ini
kelak tidak melakukan transfer kekayaan ke perusahaan lainnya kemudian
dimatikan di tahun ke 10 sehingga di tahun ke 10 negara tidak
mendapatkan apapun… lalu bagaimana dengan prinsip keadilan dan pajak
untuk pembangunan yang dapat dinikmati oleh segenap bangsa. Kemajuan
ekonomi perusahaan ini hanya dinikmati oleh segelintir orang dan hanya
memperkaya lagi orang orang yang memang sudah kaya sehingga fungsi pajak
sebagai pemangkas kesenjangan TUMPUL. Gini Ratio yang hampir 0,5
menunjukan bahwa ketimpangan antara orang miskin dan kaya sudah sangat
besar.
Dari kasus di
atas, Insentif fiskal murni harus dikoordinasikan dengan presiden
sehingga pihak pihak berkepentingan dalam insentif ini harus setara
secara struktur dan kewenangan. Dirjen Pajak sebagai pemegang kewenangan
insentif fiskal dan penerimaan negara, Kepala BKPM yang mengemban misi
pertumbuhan investasi, Menteri Keuangan yang mengemban misi stabilitas
fiskal dan Mengkoperekonomian harus setara karena masing masing memiliki
kepentingan sehingga masing masing dapat memberikan argumen ke presiden
dimana nantinya presiden yang memutuskan. Selama ini kepentingan dirjen
pajak terhadap penerimaan walaupun sebagai pemegang wewenang insentif
disinyalir tidak begitu didengarkan karena yang memutuskan di final
adalah Keputusan Menteri Keuangan. Ditjen Pajak hanya bias pasrah jika
ada insentif pajak namun target penerimaan tidak direvisi.
Ketiga
poin yang dikemukakan Menteri Keuangan tentu berdasarkan opini beliau
terlepas ada unsur paksaan atau tidak, namun seperti beliau bilang harus
juga dilihat kepentingan nasional saat ini apakah dibutuhkan atau
tidak. Hak memutuskan tersebut ada di Presiden baru kelak. Presiden baru
kelak sangat berkepentingan terhadap pajak karena program program kerja
yang mereka tawarkan pada saat pilpres membutuhkan uang yang tidak
sedikit.
Mengulas
sedikit mengenai wacana pemisahan Unit Pajak dari Kementerian Keuangan
serta fleksibilitas kewenangan begitu juga insentif. Ketiga hal ini
dapat berbarengan dan menjadi satu paket. Dari info yang saya dapat,
Ditjen Pajak memiliki tim yang mengurusi hal tersebut sehingga tinggal
diajak berdiskusi dengan presiden baru, sehingga tidak perlu ketiga hal
ini dibenturkan.
Selanjutnya, IRS bukanlah satu satunya contoh di dunia ini, jika ditelaah berdasarkan hasil survey OECD tax administration 2013,
hampir seluruh Negara di dunia ini, institusi pajaknya berbentuk badan
dan berada di bawah presiden bahkan Reformasi pajak dimulai dari
pembentukan struktur badan penerimaan pajak di bawah presiden, pemenuhan
9 kewenangan yang harus dimiliki lembaga pemungut pajak, Pengesahan UU
Badan Penerimaan Pajak sampai dengan kewenangan dalam operasional
pemungutan pajak.
Jika
memang apa yang dikemukan Menteri Keuangan benar adanya, maka yang
diubah adalah bagaimana agar lembaga pajak menjadi seperti IRS bukan
karena tidak sama dengan IRS, maka lembaga pemungut pajak di Indonesia
tidak bisa seperti IRS.Pemikiran tersebut seharusnya dikemukakan.
Tuntutan
masyarakat sudah demikian hebatnya, tidak sehat jika selalu mencari
alasan untuk menolak pemisahan Ditjen pajak dari Kementerian keuangan.
Masyarakat juga memiliki kepentingan agar penerimaan pajak meningkat
terutama karena masyarakat berharap adanya perubahan kesejahteraan yang
dimulai dari dibangunnya infrastruktur pemicu ekonomi sebagaimana yang
dijanjikan oleh para peserta PILPRES dam pembangunan infrastrktur
tersebut adalah dari pajak yang masyarakat bayarkan.