Total Tayangan Halaman

Senin, 08 Oktober 2007

Transaksi via Internet pun Menjadi Incaran Pajak

DPR dan Pemerintah ingin menjaring PPh warga negara asing yang berbisnis musiman di Indonesia.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mulai masuk masalah teknis. Panitia Kerja (Panja) RUU PPh baru menyelesaikan pembahasan 110 daftar inventaris masalah (DIM) dari 600 DIM. Setelah soal warisan mereka bahas Rabu lalu, kemarin (4/10) Panja menelaah topik Badan Usaha Tetap (BUT).
Ketua Panitia Khusus RUU PPh, Melchias Markus Mekeng mengungkapkan pembahasan BUT terkait maraknya perusahaan-perusahaan milik warga negara asing yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah ingin mengenakan pajak penghasilan terhadap mereka dengan menjaringnya sebagai BUT.
Berkaitan dengan niat itu, pemerintah berharap penetapan status BUT bersifat terbuka (open list) sehingga mereka leluasa memasukkan perusahaan milik warga asing ke dalamnya. Pemerintah mengusulkan 15 jenis usaha yang masuk dalam BUT dan menjadi subjek PPh. Mereka adalah orang pribadi, warisan yang belum dibagikan, badan hukum, dan badan usaha. Termasuk di dalamnya berupa kantor perwakilan perusahaan asing, gudang, showroom, tempat penjualan, dan agen. "Ini untuk mencakup orang yang tidak tinggal di Indonesia atau tidak menetap di Indonesia lebih dari 183 hari atau setahun," kata Anggota Panja PPh dari Fraksi Partai Amanat Nasional Dradjad Hari Wibowo.
Mengantisipasi maraknya ecommerce Meskipun Fraksi Partai Golkar sempat menghendaki penetapan BUT bersifat terbatas (closed list), akhirnya Panja bersepakat dengan pemerintah.
BUT boleh open list, tapi harus ada definisi yang lebih spesifik sehingga bisa tercipta kriteria BUT yang bersifat khusus pula. Kesepakatan itu terjalin karena dalam penjelasannya Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengungkapkan perlu nya mengantisipasi aturan untuk menjaring transaksi ecommerce, terutama untuk pajak penghasilan bagi penyedia jaringan atau jasa transaksinya. Pembahasan pun berlanjut sampai teknis penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pula. Tertarik.soal ecommerce, DPR meminta Dirjen Pajak me rinci siapa yang jadi subjek PPh. "Nilainya bisa miliaran dolar AS," kata Dradjad sembari menyebut contoh penyanyi asing yang berjualan rekaman di Indonesia melalui internet. Bisa juga orang Indonesia yang berbisnis melalui internet. "Kami masih menunggu konsep Dirjen Pajak. Jangan sampai Indonesia terkena balasan alias dari negara lain kalau pengenaan pajaknya ngawur," tandasnya.
Pada rapat itu pemerintah juga meminta agar DPR mau melakukan pembahasan RUU PPh ketika masa reses. Sebab, pemerintah ingin PPh selesai akhir tahun biar bisa berlaku mulai awal tahun depan.
Kali ini agaknya kesepakatan sulit mereka raih. Fraksi-fraksi keberatan memenuhinya karena berbagai alasan. Masa reses anggota DPR hanya beberapa hari setelah terpotong oleh libur bersama saat lebaran. Selain itu mereka harus melakukan kunjungan kerja ke daerah minimal tujuh hari. Waktu yang ada saat ini juga harus mereka pakai untuk membahas beberapa rancangan perundangan-undangan yang lain pula yang masih menumpuk di meja.
Sumber : Harian Kontan

2 komentar:

E-IMAN-S mengatakan...

Kalo liat semangatnya anggota DPR untuk mengenakan pajak atas transaksi e-commerce, boleh juga. Tetapi sebaiknya anggota DPR harus belajar lebih banyak lagi tentang e-commerce, jangan hanya menetapkan sebagai BUT terus mekanismenya diserahkan ke DJP. Ibaratnya anggota DPR bilang "pokoknya kena pajak" lalu semuanya diserahkan ke DJP. Transaksi e-commerce adalah transaksi yang melibatkan banyak pihak dan lintas negara, di sini Indonesia berhadapan dengan otoritas pajak negara lain, kita harus koordinasi dengan negara lain, tentang mekanisme penetapan sebagai BUT, kita harus tunduk pada hukum pajak internasional, jangan sampai Indonesia dikucilkan. Dan masalah dalam e-commerce sangat rumit, contohnya bagaimana pengenaan pajak atas pemakaian server oleh pemakai Indonesia tetapi server tersebut adanya di luar negeri, bagaimana kalo sebaliknya. Dan sebelum DPR memutuskan UU Pajak yang baru, DPR sebaiknya mengesahkan RUU tentang telematika sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi investor maupun instansi pemerintah (misalnya DJP)yang ingin memakai UU Telematika untuk menjaring obyek pajak baru.

abiechacha mengatakan...

wah Prof Sigit...pemajakan atas transaksi e-commerce emang berat lho...emang dari sisi potensi penerimaan pajak mugkin besar buanget, tapi pertanyaannya apakah kita sudah siap...Amerika Serikat aja masih terjadi perdebatan yang sengit...tapi, mungkin bisa jadi bahan tesis mas, minta deh kalo ada bahan referensinya...hhh